Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini
lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kiai Haji Zubair bin Kiai Dahlan bin Warijo bin
Munandar. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa
ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al-
Makky. Dua
ulama yang kesohor pada saat itu. Ayahandanya Seorang Kiai
yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah
putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang
pendirian. ulama
yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Pada umur 25 tahun, beliau
menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari
gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan
keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan
kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati
seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua
itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah
gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah
kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh
langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak
harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang
lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan
mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut
dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi
keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk
menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di
pesantren sekalipun.
Pendidikan
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan.
Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum
menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan
memahami ilmu
Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kiai
Maimoen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta
Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju
dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal
diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil
Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul
Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya
guna ngangsu kaweruh, menggali lubang dalamnya
wawasan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang
terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu
agama dari KH.
Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih
lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum
cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu
agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti
panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin
Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu
dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas
Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid
Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari
Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang
tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau masih meluangkan waktu untuk
memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa
saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua
beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem jawa tengah Guru dari KH. Abdullah Faqih Langitan. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH.
Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abdullah Abbas, Buntet Cirebon, Syaikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH.
Abul Fadhol, Senori Tuban.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama.
Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman
Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta
geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang”
karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa
ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi,
tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan
ilmu dari Beliau.
Keturunan
Putra putra beliau antara lain:
§
KH Abdullah Ubab
§
KH AGus Najih
§
KH Majid Kamil
§
Gus Abd. Ghofur
§
Gus Abd. Rouf
§
Gus M. Wafi
§
Gus Yasin
§
Gus Idror
dan dua putri, yaitu:
§
Neng Shobihah (Mustofa aqil)
§
Neng Rodhiyah (Gus Anam)
Kisah Teladan Beliau
Antara Beliau dan Gus Dur
“Aku ini
tidak pernah setuju dengan Gus Dur”, kata Kyai
Maimun Zubair. “Yah... namanya manusia. Tapi aku tidak berani membenci, apalagi
memusuhinya. Takut kuwalat!”
Kenyataannya,
tidak seratus persen Mbah Maimun berseberangan dengan Gus Dur. Ketika suatu
kali seorang tokoh intelektual datang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengajak
beliau masuk ICMI, Mbah Maimun menolak.
“Pak Kiyai
ini intelektual yang mumpuni lho”, kata si tokoh, “cocok sekali kalau masuk
ICMI !.”
“Ah, saya
cukup Nahdlatul Ulama saja, gabung rombongannya pewaris nabi.” kata mbah Mun
“Memangnya
di ICMI nggak bisa?”
“Kan nggak
ada hadits Al-ICMI warotsatul anbiyaa’? Kalau Al-Ulamaa' ada!” kata mbah Mun.
Perspektif kacamata Santri dan Alumni Mengenai Ngaji dan Hataman Kitab Ihya`
Ulumuddin
Beberapa santri dan alumni yang pernah menimba ilmu pada
mbah moen, merasa janggal dan aneh jika mengaji bersama beliau di pondoknya,
dan hal ini seperti penuturan santri beliau yaitu seorang kiai desa dari daerah
bojonegoro jawa timur, beliau bernama Kiai Achmad Mu`addin menceritakan kepada penulis
pada malam hari
raya idul fithri 1434 H saat sowan ke
ndalem atau kediamannya. Beliau Menuturkan bahwa keanehan itu adalah merupakan
karomah. Keanehan yang dimiliki Mbah moen adalah jika beliau saat mengajar
beliau sering kali tertidur ditengah-tengah membaca kitabnya, ntah karna
kecapean atau apa, namun jikalau kecapean. tapi kok seringakali Mbah moen
ketika mengajar itu senantiasa tidur dan kiatab yang dibacanya tersebut masih
terbuka dan berada di depannya. Dan semua santrinya tiada yangberani
membangunkannya, namun setelah waktu hampir satu jam atau jm belajar usai
beliau kerap bangun sendiri lalu beliaupun mengucapkan salam kepada para santrinya. Dan santrinya pun menjawab
salamnya tersebut.
Di
beberapa pesantren, khataman pengajian Ihya’ dimeriahkan dengan berbagai acara,
seperti pengajian umum, tahlil dan sebagainya. Mengomentari fenomena ini Mbah
Moen berpandangan bahwa khataman Ihya’ kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai
lima kali Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya,
Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang Ponorogo,
dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan panjang lebar.
Ketika
saya tanyakan, mengapa demikian, Beliau menjawab, “yo ngono iku”. Setelah jeda
beberapa saat Beliau melanjutkan, “Ihya’ iku zuhud”. Saya mengartikan dawuh
beliau bahwa karena Ihya’ bersifat zuhud, maka ia tidak cocok dengan
hiruk-pikuk kemeriahan yang diadakan dalam rangka memungkasi pengajian Ihya’
tersebut.
Oleh
karena itu Mbah Moen berpantang memeriahkan khataman Ihya’. Pernah suatu kali
para santri berencana, bahkan sudah mengumpulkan dana, untuk memeriahkan
khataman Ihya’. Ketika mengetahui hal tersebut beliau melarangnya. Dan
alhamdulillah sejak pertama kali mengampu pengajian Ihya’ di tahun enam puluhan
hingga kini, Beliau sudah lebih dari lima kali khataman Ihya’. Semoga Allah
memanjangkan dan memberkati umur Beliau.
Menurut
Mbah Moen, beberapa kyai terdahulu juga mengambil sikap kehati-hatian serupa.
Mbah Baidlowi Lasem, misalnya, kalau ngaji Ihya’ tidak pernah dikhatamkan.
Demikian pula Mbah Zubair. Mbah Moen sendiri selalu mengkhatamkan Ihya’, tetapi
disertai dengan dua langkah antisipasi: Pertama, tidak memeriahkan khataman;
kedua, membuat jeda antara akhir pengajian dengan awal pengajian berikutnya.
Meski
demikian Mbah Moen merasa bahwa cara yang ditempuhnya masih ada yang kurang
tepat. Beliau menuturkan, setiap kali beliau sampai pada kitab dzikr al-maut
ada santri yang meninggal.
Disamping
keunikan di atas, Mbah Moen juga menuturkan, “moco Ihya’ iso nyebabno tentrem
lan rame”. Saya menangkap pengertian “rame” di sini adalah “rame santrine”.
Tentang
“tentrem” ini saya teringat dengan dawuh Beliau ketika pengajian di Dasin
Tambakboyo Tuban, “Nduwe duit ora bungah, ora nduwe duit ora susah”. Ini sikap
hidup yang bisa mendatangkan ketentraman, tetapi tidak mudah diresapkan. Bisa
jadi dengan mengaji Ihya’ seseorang secara perlahan bisa meresapkan sikap hidup
semacam itu yang pada gilirannya bisa mendatangkan ketentraman.
Dan
tentang “rame santrine”, saya melihatnya sebagai berkah yang dialami Mbah Moen.
Umumnya pesantren besar didirikan oleh pengasuh generasi pertama. Setelah
diwariskan ke pengasuh generasi kedua atau ketiga barulah pesantren tersebut
mengalami peningkatan jumlah santri yang pesat. Tetapi pesantren Al-Anwar yang
didirikan Mbah Moen memiliki fenomena yang berbeda. Mbah Moen adalah perintis
berdirinya Pesantren Al-Anwar, dan di tangan beliau pula peningkatan jumlah
santri mengalami perkembangan pesat. Hingga kini trend pertumbuhan jumlah
santri masih berada pada grafik naik. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati
usia Beliau.
Tentang tanggal lahir Syaikhina
Tanggal
lahir Syaikhuna yang selama ini diyakini bertepatan dengan 28 Oktober 1928
ternyata memiliki kejanggalan. Kejanggalan itu terjadi ketika dikonversi ke
penanggalan Hijriyah yang ternyata jatuh pada bulan Jumadal Ula. Padahal,
seperti disampaikan sendiri oleh Syaikhuna, beliau lahir pada bulan Sya’ban
menjelang bulan Ramadhan. Kejanggalan juga terjadi berkaitan dengan wethon.
Sebab, 28 Oktober 1928 jatuh pada hari Minggu Wage, sementara Syaikhuna
menyebutkan, lahir pada hari Kamis Legi.
Setelah
hal ini saya konfirmasikan kepada Syaikhuna sendiri, saya mendapat jawaban
bahwa menurut beliau tanggal 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan. Justru beliau
yakin bahwa beliau lahir pada Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 atau 1348.
Berdasarkan
penghitungan falak, Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 jatuh pada tanggal 27
bertepatan dengan 7 Pebruari 1929. Dan Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1348
jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari 1930. Dengan
mempertimbangkan 28 Oktober 1928 sebagai perkiraan, maka bisa disimpulkan
tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7
Pebruari 1929 M., karena tanggal inilah yang lebih dekat dengan 28 Oktober
1928.
Kejanggalan
28 Oktober 1928
Di
buku-buku memori siswa Ghozaliyah dan Muhadloroh Al-Anwar, tanggal lahir
Syaikhuna tertulis 28-Oktober-1928. Biografi yang ditulis oleh saudara Noor
Amin Sa’dullah juga menyebutkan 28-Oktober-1928 sebagai tanggal kelahiran
Syaikhuna. Di berbagai biografi yang pernah saya baca, tanggal lahir Syaikhuna
juga disebutkan 28-Oktober-1928 yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda.
Demikian pula biografi yang ditulis KH Muhammad Najih Maemoen menyebutkan hari
sumpah pemuda sebagai hari kelahiran Syaikhuna. Dan tanggal inilah yang selama
ini diyakini banyak orang sebagai hari kelahiran Syaikhuna.
Pada
acara haul Mbah Zubair tahun 1428 lalu, seperti biasa teman teman alumni yang
datang, termasuk saya, sowan ke Syaikhuna. Saat itu Syaikhuna
sempat ngendikan bahwa beliau lahir bulan Sya’ban menjelang Puasa.
Beliau tidak menyebutkan, tanggal berapa tepatnya, tetapi yang jelas sudah
mendekati bulan Ramadhan. Beliau hanya memastikan bahwa wetonnya adalah
Kamis Legi.
Saya
juga menemukan informasi yang sama dalam biografi yang ditulis KH Najih
Maimoen. Di situ disebutkan bahwa Syaikhuna lahir di Karangmangu Sarang Rembang
pada hari Kamis bulan Sya’ban 1428 H. bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M.
Saya
penasaran dengan informasi terbaru ini. Begitu pulang ke rumah saya coba otak-atik hari
“Sumpah Pemuda” dan Kamis Legi bulan Sya’ban dengan menggunakan hisab ephimeris
dengan markaz atau epoch Semarang. Hasil pertama yang saya
temukan adalah bahwa tanggal 28 Oktober 1928 M. bertepatan dengan Minggu
Wage 14 Jumadal Ula 1347 H. Hasil yang tidak menggembirakan tentunya.
Sebab, ternyata hari Sumpah Pemuda tidak bertepatan dengan bulan Sya’ban juga
tidak jatuh pada hari Kamis Legi.
Sekarang
saya menggunakan asumsi kedua, yaitu penanggalan Hijriyah. Saya coba mencari
awal Ramadlan yang berada pada tahun 1928, untuk mengkompromikan antara qaul Sya’ban
menjelang Ramadhan dari sisi Hijriyah dengan qaul 28 Oktober 1928
dari sisi Masehi. Dan hasilnya, awal Ramadhan 1346 adalah satu-satunya Ramadlan
yang berada pada tahun 1928, tepatnya jatuh pada Kamis Legi 23 Pebruari 1928
dengan hitungan istikmal. Ini juga hasil yang tidak memuaskan. Sebab
dengan demikian Kamis Legi bulan Sya’ban tidak ada kena-mengenanya dengan 28
Oktober 1928.
Dengan
hasil penghitungan di atas maka hanya ada dua kemungkinan: berpatokan dengan
penanggalan Masehi dengan mengabaikan informasi Kamis Legi Sya’ban atau
berpatokan pada penanggalan Hijriyah dengan mengabaikan hari Sumpah Pemuda.
Sebab 28 Oktober 1928 berada di bulan Jumadal Ula yang berarti jauh dari bulan
Sya’ban, dan Sya’ban yang berada di tahun 1928 jatuh pada bulan Pebruari yang
berarti jauh dari Oktober.
Kamis
Legi Sya’ban 1347 atau 1348
Jalan
satu-satunya untuk mengurai kejanggalan di atas adalah bertanya langsung kepada
sumber aslinya. Pada hari Rabu 28 Juli 2008 selepas jama’ah Maghrib Al-Anwar
saya berkesempatan menghadap Syaikhuna dalam suasana yang kondusif untuk
bertanya panjang lebar. Saat itu hanya ada saya, Abdul Aziz, menantu
Almaghfurlah Pak Thoyfoer, dan temannya.
Saya
bertanya, “Ingkang kawulo mireng, panjenengan lahir tanggal 28 Oktober 1928.
Nopo leres mekaten?”.
“iku
lha’ mung kiro-kiro, heh”, jawab Syaikhuna.
Sebelum
sempat bertanya lebih jauh, kami bertiga dipersilahkan makan. Dan selama di
meja makan pembicaraan beralih ke topik lain.
Setelah
kembali ke ruang tamu, saya tidak langsung melanjutkan wawancara, karena
tampaknya Abdul Aziz perlu menyelesaikan maksudsowannya. Beberapa menit
kemudian, baru saya meminta ijin untuk bertanya lagi.
“Nopo
leres jenengan lahir teng wulan Sya’ban, Yai”, tanya saya.
“iyo
bener”, Jawab Syaikhuna pendek.
“tahune
47 utowo 48, aku lali”, sambung Syaikhuna.
Saya
keluarkan pena dan kertas yang memang sudah saya persiapkan, kemudian mencatat
hasil wawancara. Saya kembali bertanya, “wetonipun Kemis Legi, leres mekaten,
Yai”.
Sambil
tersenyum Syaikhuna balik bertanya, “Arep mbok kapakno?”.
“Mboten,
Yai. Namung bade nyerat biografinipun panjenengan”, jawabku singkat.
“iyo
Kemis Legi”, demikian akhirnya Syaikhuna menegaskan wetonnya.
Dari
wawancara itu saya mendapatkan beberapa fakta penting langsung dari sumber
aslinya sbb :
Syaikhuna
yakin, lahir pada bulan Sya’ban
Syaikhuna
yakin, lahir pada hari Kamis Legi
Syaikhuna
yakin, tahun kelahirannya adalah 1347 atau 1348 H.
Syaikhuna
yakin bahwa tanggal lahir 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan dan bukan
kepastian.
Dari
keempat fakta diatas, dua fakta pertama merupakan kepastian hari dan bulan,
sekaligus kata kunci yang dapat menentukan kepastian tanggal. Sebab Kamis Legi
merupakan siklus 35 hari. Berarti dalam satu bulan tidak mungkin terjadi dua
Kamis Legi. Bahkan, belum tentu setiap bulan memiliki hari Kamis Legi. Dengan
demikian, tanggal kelahiran Syaikhuna adalah tanggal yang jatuh pada Kamis Legi
di bulan Sya’ban.
Kemudian
fakta ketiga dan keempat adalah petunjuk yang dapat menentukan tahun. Fakta
ketiga memberikan dua alternatif tahun, yaitu 1347 dan 1348. Dan fakta keempat
adalah perkiraan tanggal yang menggunkan sebuah moment besar sebagai ancer-ancer.
Dalam tradisi jawa moment besar biasa digunakan sebagai ancer-ancer hari
kelahiran. Misalnya, orang yang lahir satu atau dua bulan setelah Gestapu
dikatakan lahir saat Gestapu. Dengan
berpegang pada fakta keempat bahwa Hari Sumpah
Pemuda
hanyalah perkiraan, maka fakta keempat adalah ancer-ancer untuk
menentukan, apakah Syaikhuna lahir di tahun 1347 atau 1348.
Berdasarkan
penjelasan di atas saya merumuskan kerangka dasar untuk menentukan tanggal
lahir syaikhuna sbb: Syaikhuna lahir pada tanggal yang bertepatan dengan
hari Kamis Legi di bulan Sya’ban pada tahun antara 1347 atau 1348 Hijriyah yang
lebih dekat dengan 28 Oktober 1928 Masehi.
Untuk
mengimplementasikan kerangka dasar tersebut, pertama-tama saya akan menetapkan,
kapan bulan Sya’ban 1347 terjadi. Kemudian saya akan mencari, jatuh pada
tanggal berapakah hari Kamis Legi bulan tersebut. Langkah yang sama akan saya
lakukan untuk mencari Sya’ban tahun 1348. Jika Sya’ban 1347 dan 1348 sama-sama
memiliki hari Kamis Legi, maka saya akan memilih tahun yang lebih dekat dengan
tanggal 28 Oktober 1928 M. Dan jika hanya salah satu yang memiliki hari Kamis
Legi, maka tahun itulah yang saya tetapkan sebagai tahun kelahiran Syaikhuna.
Perlu
dicatat bahwa dalam menetapkan awal bulan Sya’ban saya menggunakan metode Hisab
Ephimeris dengan markaz atau epoch Sarang yaitu: 6° 44' LS
dan 111° 36', serta batas minimal imakanur ru’yah 2°. Pilihan
terhadap metode hisab semata mata karena metode inilah yang mungkin saya
gunakan. Sebab saya tidak menemukan dokumentasi ru’yah untuk bulan Sya’ban 1347
ataupun 1348. Dan dalam hal ini, perbedaan ru’yah dan hisab hanya mempengaruhi
penetapan tanggal hijriyah saja.
Menurut
hasil penghitungan saya, bulan Sya’ban 1347 jatuh pada Sabtu Kliwon, 12 Januari
1929. dan Kamis Legi yang ada dalam bulan tersebut jatuh pada tanggal 27
bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1929.
Untuk
tahun 1348, awal bulan Sya’ban jatuh pada Rabo Wage, 1 Januari 1930. Dan hari
Kamis Legi di bulan tersebut jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari
1930.
Dengan
demikian baik tahun 1347 maupun 1348 sama-sama memiliki Kamis Legi yang jatuh
pada bulan Sya’ban, yaitu:
Kamis
Legi 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7 Pebruari 1929
Kamis
Legi 23 Sya’ban 1348 H. bertepatan dengan 23 Januari 1930
Dari
kedua Kamis Legi Sya’ban di atas, yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928
adalah Kamis Legi Sya’ban tahun 1347. Oleh karena itu saya menyimpulkan
bahwa tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan
7 Pebruari 1929 M.
Jasa dan Dedikasi Beliau
Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang
Pada tahun
1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi
dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau.
Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian
pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman
nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis.
Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut
di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang
Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga
membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari
Beliau.
Kemudian
sekitar tahun 2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok
Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau
dipasrahkan pengasuhannya kepada putranya KH. Ubab Maimun
PP Al-Anwar
yang berada di kampung Karangmangu Sarang Rembang Jawa Tengah didirikan oleh
KH. Maimun Zubair pada tahun 1967. Pondok ini pada mulanya adalah sebuah
kelompok pengajian yang dirintis oleh KH. Ahmad Syuaib dan KH. Zubair Dahlan.
Kelompok pengajian tersebut pada awalnya dilaksanakan di mushalla. Pada
perkembangan selanjutnya kedua perintis tersebut mendirikan tiga komplek
bangunan, yaitu komplek A, B dan C.
Komplek B
dikembangkan oleh KH. Abdul Rochim Ahmad menjadi PP Ma’hadul Ulumis Syar’iyah.
Sedang komplek A dikembangkan menjadi PP Al-Anwar oleh KH. Maimun Zubair, putra
KH. Zubair Dahlan. Latar belakang pendirian pondok di samping untuk melanjutkan
kegiatan pengajian, juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat sekitar yang umumnya berpenghasilan rendah sebagai
nelayan.
Perkembangan
jumlah santri PP. Al-Anwar yang cukup pesat, menuntut adanya pembangunan di
bidang fisik. Pada tahun 1971 musholla direnovasi dengan menambahkan bangunan
diatasnya yang kemudian disebut dengan Khos Darussalam, juga dibangun sebuah
kantor yang berada sebelah Selatan ndalem syaikhina. Seiring dengan
bertambahnya santri maka pembangunan secara fisik pun terus dilakukan. Tercatat
pada tahun 1973 dibangun Khos Darunna’im, tahun 1975 Khos Nurul Huda, tahun
1980 Khos AF, dan masih banyak lagi pembangunan fisik yang yang lain. terakhir
dibangunnya gedung serbaguna PP. Al-Anwar berlantai lima pada tahun 2004 dan
juga pada tahun 2005 dibangun Ruwaq Daruttauhid PP. Al-Anwar yang setelah
selesai pengerjaannya digunakan sebagai tempat pertemuan (Multaqo) alumni Sayyid Muhammad Alawy
al Maliki Makkah al Mukarromah.
Tokoh Nasional Tradisional
Mbah Moen,
begitu orang biasa memanggilnya, banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh
nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula.
Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi
semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang
tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Beliau juga
pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7
tahun. Setelah berakhirnya masa tugas, beliau mulai berkonsentrasi mengurus
pondoknya yang baru berdiri selama sekitar 7 atau 8 tahun. Tapi rupanya tenaga
dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga beliau diangkat
menjadi anggota MPR
RI utusan Jateng selama tiga periode. Dalam dunia politik beliau tergolong kiyai yang adem-ayem. Di saat NU sedang
ramai mendirikan PKB (1998) mbah Moen lebih memilih diam dan istiqomah di PPP, partai dengan
gambar Ka’bah.
Pada tahun
1977, KH. Maimun Zubair mengembangkan pesantren dengan mendirikan PP Putri Al-Anwar. berawal dari sebidang tanah yang dimiliki dan hasil
pembelian tanah milik tetangga, beliau termotivasi akan kondisi masyarakat
sekitar pada saat itu yang belum rutin mengerjakan sholat 5 waktu serta
minimnya kemampuan mereka dalam membaca Al Qur’an. Sebagai
langkah awal, lalu dibangunlah sebuah musholla di belakang rumah yang semula
berdindingkan anyaman bambu
Mentradisikan Salaf
Sebagai sosok ulama, beliau punya perhatian yang cukup
besar terhadap tradisi salaf. Salaf menjadi sebuah prinsip yang harus dipegang
teguh, bukan semata nama, sehingga menjadi kebutuhan mendesak untuk kembali
menjadikan salaf sebagai prinsip dan gaya hidup.
Dalam sebuah kesempatan di Malaysia, beliau menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf
dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya
adalah arab pegon. Di tengah masyarakat, arab-pegon mulai ditinggalkan secara
perlahan.
Sebagai illustrasi, aksara arab pegon, dulunya, tidak
semata sebagai media pembelajaran, tapi menjadi media komunikasi masyarakat.
Namun, ironis sekali, akhir-akhir ini, di beberapa pesantren yang semestinya
menjadi ikon pelestari tradisi tersebut menemui kendala.
Beliau dalam beberapa kesempatan tak henti-henti
memotivasi beberapa pihak untuk senantiasa mentradisikan salaf, termasuk
menghidupkan kembali arab-pegon sebagai ikon salaf yang perlu dilestarikan.
Kiainya Para Kiai yang Faqih Jempolan
Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masail Diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi,
bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan
merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di
Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja
karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga
karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang
dimaksud adalah K.H. Maimun Zubair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat.
Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan
kitab-kitab tasawuf lainnya kepada para santri senior setiap ba’da shubuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih
menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari
masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan
muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah
dihantam musibah bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan
pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa
fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini
memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi
ceramah dan fatwa untuk urusan non pesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari
tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia
memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai
berlambang Ka’bah itu.
Belum lagi ribuan santri alumni pondoknya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita
mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara
mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib
Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri,
Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki
(Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), KH. Miftahul Falah (Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta`allimin, Datinawong Babat Lamongan) dan masih banyak
lagi.
Pesan Hikmah KH. Maimun Zubair
Taushiyah
Tausiyah
ini ditulis kembali oleh Abu Naqie Usamah yang disarikan dari mauidloh
hasanah, KH. Maimun Zubair Pengasuh PP. Al Anwar Sarang Rembang pada haul al
Habib Abdul
Qodir Bil Faqih
dan al Habib Abdullah
Ibn Abdul Qodir Bil Faqih PP. Darul Hadits Malang. Tausiyah ini
bukan murni transkrip lengkap pidato beliau, hanya berdasar pendengaran, maka
dalam tausiyah ini ditemui penambahan kata atau kalimat untuk mendukung pembaca
memahami tausiyah beliau.
Manusia
hidup hanyalah untuk beribadah sebagaimana disampaikan dalam al Quran:
Wamaa
Kholaqtul Jinna Wal Insa Illa Li Ya’buduun.
Esensi
dari ibadah itu sendiri adalah bagaimana seorang manusia melakukan pendekatan
kepada Allah atau dalam bahasa arab disebut taqarrub.
Proses pendekatan diri kepada Allah tidak hanya diwujudkan dengan bentuk ibadah
murni seperti wirid, sholat, puasa atau
bentuk ibadah murni yang lain. Taqarrub bisa diwujudkan dengan
menyesuaikan status sosial masing-masing orang. Kejujuran, keadilan dan
kemampuan menghidarkan diri dari berbuat dzalim termasuk korupsi seorang
pemimpin, pegawai pemerintah atau anggota DPR juga merupakan bentuk taqarrub.
Pemahaman
seperti ini penting sekali disosialisasikan agar tidak ada orang yang setiap
hari ibadah murni dijalani, tetapi perilaku kemasyarakatannya tidak sesuai
dengan koridor agama. Kemampuan seorang politisi dalam membedakan posisi diri
dalam bergaul dengan sesama muslim juga bentuk kemasan taqarrub yang lain.
Ketika berada diluar koridor politik, seorang politisi harus mampu membangun ukhuwah Islamiyah dengan
sesamanya meski berbeda jalur politiknya dengan dirinya. Seorang politisi PKB harus mampu
bergaul erat dengan sesama muslim yang lain dari partai lain baik Golkar, PDIP atau PPP seperti saya
ini.
Kemampuan melihat diri inilah yang penting sekali kita tanamkan kepada generasi
muda kita agar tidak memandang sesama muslim yang berbeda jalur politiknya
seperti orang berbeda agama. Betapa indahnya kehidupan ini bila
hal ini bisa kita wujudkan bersama. Bila kita seorang
pegawai pemerintahan menemui hadits yang menyatakan:
“Shirooru
al ulama, alladzina ya’tuuna al umara wa khiyaaru al umara alladzina ya’tuuna
al ulama.”
Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang (sibuk) mendatangi pemerintah atau
penguasa dan sebaik-baik pemerintah atau penguasa adalah mereka yang mendatangi
ulama.
Maka
perhatikan kalimat terakhir, jangan membahas bagian awal. Artinya bagian proses
pendekatan diri seorang pegawai pemerintahan adalah mendekati ulama, untuk
mendapatkan penyegaran diri agar terselamatkan dari tindakan yang tidak terpuji
atau keluar dari syariat agama kita. Wal hasil,
untuk menjalani salah satu kewajiban kita yaitu mendekat kepada Allah, kita
harus faham bahwa jalan menuju ke sana bukan dari satu pintu. Namun hal itu
dapat kita aplikasikan dalam bentuk amal perbuatan yang lain menyesuaikan
profesi kita masing-masing yang sejalur dengan konteks syariat Islam. Wallahu
A’lam Bisshowab.
Ijazah
Mbah
Moen memberi Ijazah : Barang siapa
membaca istighfar berikut ini :
أستغفر الله العظيم الذي لا
إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه توبة عبد ظالم لا يملك لنفسه نفعا ولا ضرا ولا
موتا ولا حياة ولا نشورا
sebanyak 700x atau 70x atau 7x sebelum khotib naik mimbar pada Jum'at terakhir
bulan Rajab, maka akan dimudahkan rizqinya sepanjang tahun.
Dan dalam kitab Kanzun Najah Wassurur Syaikh Ali Al-Ajhuri memberi ijazah
:
Barang
siapa membaca dzikir ini :
أحمد رسول الله محمد رسول الله
sebanyak
35x ketika khotib berada di atas mimbar dalam Jum'at terakhir bulan Rajab, maka
tidak akan kehabisan uang sepanjang tahun. (penulis pernah menyaksikan
langsung, beliau KH. M. Najih MZ mengamalkannya).
Jika matahari terbit dari
timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang.
Sumber Referensi: